Selasa, 01 Desember 2015

Aku Minta Maaf - Monica Fiolani Victoria

Pertengkaran itu masa lalu
Saat itu memang terasa seperti bukan apa-apa
Hingga pertama kalinya aku sadar
Aku telah kehilangan sesuatu yang berharga
Walau ku terus mencoba untuk memperbaiki
Selalu saja aku takut untuk gagal
Hatiku terasa akan patah
Mengingat kamu akan pergi
Tapi senyuman mu teringat dalam ingatan ku
Aku tahu kali ini akan baik-baik saja
Aku percaya padamu
Tolong tetap tinggal dan tersenyumlah di sini
Jangan katakan selamat tinggal padaku
Jangan menangis karena masa lalu
Aku akan menangis bersamamu , untuk mu
Maafkan aku
Ayo kembali lagi seperti dulu
Saat kita selalu tertawa
Aku minta maaf – oleh Monica Fiolani Victoria
Palu , Sulteng

HUJANKU - Mosdalifah

Terdengar desahan embun pagi
Mendekap jiwa dengan kesejukan
Tersentuh pada kulit,
Terasa dinginnya sampai jauh kehati
Hujan pertama,bisikku
masih dengan harapan untuk hujan lagi
Berikan deruh pada hati yang bercampur rasa
Luluhkan kecewa dan mati rasa
Agar aku sedikit peka tentangnya
Setidaknya dapat kusita waktu untuk bermain dengannya
Sampai aku lupa sejauh mana aku ceria dibuatnya
Tanpa kata,dengan rasa yang membasahi jiwa
Hanya itu…
Aku mau..berteriak padamu
Namun aku malu bercerita diantara manusia
Aku tak ragu padamu yang jatuh adalah nyata
Namun aku ragu pada mereka yang dikata adalah dusta
Tiada kata yang dapat dijaga
Tiada percaya yang dapat digenggam
Tak sepertimu,hujanku
Hujanku – oleh Mosdalifah
Sepudi, Sumenep

Bahagia Berujung Duka - oleh Abd. Hamid (Khefiendt)

Sendiri ku terpaku
Menatap puing-puing kehancuran
Istana hati yg dulu tertata rapi
Kini hanya menyisakan debu,,,
kau ciptakan bahagia
Kau berikan aku hidup
Kau coretkan tinta warna-warni di hidupku
Senyum ceria, tawa bahagia selalu mengiringi,,
Kala itu aku sungguh terlena,,,
Asmara yg kau ciptakan,
Memberiku sejuta harapan,,,
Kini, semua musnah sekelip mata
Menciptakan luka yg teramat dalam,,
Membuatku terus larut dalam lamunan,
Kelap & semakin kelap,,
Meski hati telah rela tuhan menjemputmu
Namun jiwa tak mampu menahan sepi tanpamu,,,,
Bahagia Berujung Duka – oleh Abd. Hamid (khefiendt)
Samarinda

Jendela Cerita Menembus Mimpi

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala tetap dipuja-puja bangsa
Serentak puluhan suara menggemakan sebuah ruangan dari sudun ke sudut, ribuan tepuk tangan pun membuat seluruh para pendengar harus merinding dan terkagum, dan itu semua memiliki sebuah rasa bangga pada wajah pengabdian seorang guru yang sejak tadi menatap penuh senyuman. Aisah soraya, seorang guru sekolah dasar, yang sangat berjasa, di tengah kesibukannya. Ia adalah seorang pahlawan bangsa, dimana banyak anak-anak menggantungkan harapn dan impian nya pada wanita separuh baya tersebut.
Sekolah mentari, dimana sebuah sekolah tanpa seragam, tanpa sepatu, dan bahkan tanpa buku atau alat tulis, dimana alam menjadi sebuah buku cetak, ingatan menjadi sebuah buku tulis dan berbicara menjadi sebuah alat tulis. Inilah mereka, namun mereka memiliki seorang yang mengajarkan banyak tentang arti impian, arti harapan, dan bahwa ada gelap sebelum terang ada ada kehidupan sebelum kematian itu lah ia. Seorang guru dengan semangat yang luar biasa, dengan mimpi yang ia gantungkan pada langit biru.
Dari kejauhan terlihatlah seorang wanita dengn segenap lelahnya yang tergambar pada wajah yang tertunduk, dengan langkah perlahan menuju bangunan yang rapuh termakan usia, namun senyumya kembali membawa semangat baru ketika ia melihat semangat yang tergambar pada canda tawa anak-anaknya.
“Sore anak-anak!!” Sapanya dengan senyum yang mengembang.
“Sore bu..” serentak jawab sekumpulan anak-anak di pojok bangunan buruk ini.
“mari kita masuk untuk belajar..”
Langkah nan penuh harapan pun mulai menyongsong kepingan-kepingan mimpi lewat jendela khayalan yang tergambar dari cerita-cerita bu Aisah tentang indonesia. Perjuangannya, mimpinya, kekayaannya, dan semua tentang indonesia membangun sebuah mimpi pada benak mereka. Di tengah cerita seketika pandangannya tertuju pada wajah kusam di sebuah pojok bangunan, baju yang kini memudar dengan debu-debu yang menempel di tubuh kurus kering dengan segenap lamunannya ia tertunduk.
Pahlawan cilik ia adalah anak yang luar biasa Bintang namanya, berharap ia akan terang seperti bintang, terang dengan cahayanya sendiri, itulah harapan akan namanya. Dan kini ia telah menjadi penerang untuk keluarganya.
“Bintang sedang apa di situ, mari masuk!!!” sambil menepuk pundak anak tersebut.
“aku tak mau belajar.” dengan logat khas bataknya.
“Belajar itu untuk kau juga nantinya.. biar kelak kau bisa membaca, menghitung, jadi jika kau kaya nanti tidak ditipu orang.”
“Ahh, aku mau kerja saja, gak perlu lah, gara-gara belajar tak makan pulak adik awak nanti. Tak mungkin ku suruh makan pelajaran. Mana kenyang, sembari melangkahkan kakinya meninggalkan bu Aisah yang berdiri memandanginya dengan senyum di bibirnya.
“hati-hati Bintang, kalau kau mau belajar, kami di sini selalu membuka pintu untuk kau.” sedekit berteriak.
Senja berganti malam, wanita separuh baya ini, duduk di depan lampu cuplik memandangi sebuah buku dengan kacamatanya yang bulat, dan jaket tebal yang dikenakannya. Pikirannya melayang matanya berkaca, dalam lubuk hatinya yang dalam ia berpikir, siapa yang akan membawa nasib-nasib putra putri bangsa. Siapa yang akan menuntunnya menuju impian mereka. Negeri ini memang kaya. Kaya akan alamnya, budayanya, orangnya. Namun lihat putra-putri bangsa menangis di pojok malam.
Merah putih Termenung. Terurai berdebu di pojok gedung bekas penjajah. Pancasila meronta, garuda terkasih melayang perih menyaksikan indonesia. “Inikah negeriku?” Air matanya berlinang bersama sepercik harapan dalam dirinya, dalam doa-doa yang ia panjatkan untuk negeri ini. Namun malam pun berlalu begitu saja seperti rIbuan malam-malam sebelumnya hingga matahari pagi pun mengintip dari sela-sela kecil membangunkan indonesia yang masih tertidur.
Dengan harapan yang sama, langkah yang kokoh itu pun mulai menjelajahi jalanan sempit, becek dan berbatu namun semangatnya tak pernah pudar. Perlahan namun pasti, dan kini ia berada di depan pintu sekolah dengan ratusan anak berseragam merah putih, jauh berbeda antara sekolah ini dan anak yang ia didik di sebuah sekolah mentari, namun semangatnya dan pengalamannya ia suka pada sekolah mentari.
Usia yang saat ini ada dalam diri bu Aisah membuat penyakin suka bermain dalam diri wanita separuh baya ini, batuk-batuknya seolah mengambarkan lelah yang mendalam. Selesai mengajar di sekolah negeri ini, ia langsung beranjak menuju sekolah mentari, bertemu dengan anak-anak bengsa mandiri, dan ada yang berbeda di sini, seorang anak yang dikenalnya kini berada di depan pintu masuk yang memang sudah rusak.
“Selamat sore Ibu,”
“Bintang, sedang apa kau di sini?”
“aku mau belajar membaca dan menulis karena nanti aku akan menjadi orang kaya”
Senyumnya pun mengembang dan tangan yang lembut ini pun mengelus rambut kusam Bintang.
“Ibu bangga pada kau Bintang.”
Canda tawa itu pun terasa semakin lengkap, segenap beban hidup pun kini lenyap bersama canda tawa mereka.
Namun seketika hari-hari ini pun berubah menjadi hari yang mati, sunyi, senyap, tak ada tawa, merenung berjalan kesana-kemari tanpa tujuan. Dua hari sudah wajah pejuang tak kunjung terlihat, nasihatnya tak lagi terdengar dan sapaan hangatnya tak lagi terasa. Kerinduan anak pada sang Ibu kini membuat mereka merasakan kehilangan sang guru yang sangat semangat, mereka pun memutuskan untuk mencari pahlawan tanpa tanda jasa tersebut menyelusuri gang-gang sempit dan becek itu, dan kini mereka sampai pada sebuah rumah kecil yang bersih terlihat dari kejauhan.
“Asalamualaikum. Asalamualaikum.”
Tak sedikit pun jawaban itu terdengar, bahkan tanda-tanda kehidupan di dalam pun nyaris tak ada.
Tiba-tiba, seorang mengejutkan dari balik gubuk reot berkata.
“Cari siapa?”
“Ibu Aisah nek, ia adalah guru kami, 2 haru sudah kami tak melihatnya”
“ya sudah sejak kemaren pintu ini tak terbuka. Mungkin penghuninya sudah pindah.”
Kekecewaan pun jelas tergambar pada wajah-wajah mereka ketika mendengar pernyataan seorang Nenek, yang seolah mengetahui hal ini, dan mereka hanya diam dengan tundukan kekecewaannya perlahan mereka melangkahkan kaki meninggalkan tempat ini, namun tiba tiba.
“Uhuk. Uhuk, uhuk!!” Suara batuk dari dalam terdengar jelas kami pun serentak menoleh dan memandangi lagi rumah itu berharap ada pertanda lainnya.
“Uhuk, uhuk!!” suara yang berulang-ulang pun meyakinkan mereka untuk masuk ke rumah tua ini, seketika kami melihat seorang wanita tua terbaring lemah di tempat tidur, matanya yang sayu, bibir yang pucat dan tubuh yang lemah ia menatap mata demi mata muridnya.
“Ibu Aisaaahh!!!” jerit seorang anak memeluk bu Aisah yang terbaring.
“Ibuuu!!” susul yang lain memeluk pahlawannya yang kini tak berdaya.
Senyum wanita ini pun tak pernah luput dari wajahnya, air mata nya berlinang membasahi pipi yang setengah keriput.
“tetap belajar maskipun Ibu tidak lagi menemani kalian, maski tempat itu akan roboh dengan sendirinya,” dengan terbata-bata kata-kata itu keluar dari bibir bu Aisah.
Seakan tak ingin kehilangan sang pahlawan, dengan erat mereka memeluk sang pahlawan tanpa tanda jasa ini. Beberapa menit kemudian tetangga pun berdatangan melihat jerit tangis dari dalam rumah, dan dengan damai mata sang guru pun terpejam perlahan, menghembuskan napasnya di pelukan sang murid tercintanya. Ribuan cerita telah berhasil membangun mimpi-mimpi di tengah kerasnya hidup. Berawal dari cerita kami mampu menjebol mimpi bersama semangat bu Aisah.

Surat Dari Bapak


“Budi tolong kau ambilkan emak kayu di belakang.” Teriak seorang wanita yang asyik berkutat dengan tungku arangnya.
“Iya emak, sebentarlah aku sedang merapikan mainan Adik yang berantakan,” Teriak Budi dari dalam kamar Adiknya.
“Cepatlah, Emak butuh kayu-kayu itu untuk memanaskan air,”
“Iya mak, sebentar lagi. Aku segera ke situ,”
Budi yang sibuk memindahkan kayu dari luar menuju dapur, terkejut setelah ada seseorang yang memanggilnya dari seberang jalan rumahnya.
“Budiii, Budi ooh Budi, kau tengoklah apa yang aku pegang ini,” sambil melihatkan sepucuk surat dari seberang jalan.
“Heyyy, kau dapat dari mana surat itu, cepat berikan padaku,” sambil berlari menuju Ucok.
“Tadi emakku ke kota, dia mendapatkan surat ini untukmu. Benarkah ini surat dari Bapak kao?” Tanya Ucok kepada Budi pertanda ingin tahu.
“Sudah lama, aku tunggu surat ini. Aku sudah bolak balik ke kota naik sepeda tapi aku belum mendapatkan surat itu, iya itu surat dari Bapakku di Malaysia,”
“Oh jadi kapan Bapak kao pulang, sudah 2 Bapak kao bekerja di sana tapi sampai sekarang dia tak kunjung datang,”
“Aku tak tahu cok, kapan Bapakku pulang. Sudahlah aku pulang dulu. Belum selesai aku membantu emakku, nanti dia marah lagi padaku,”
“Oh baiklah, salam untuk emakmu yaa,”
“Iya cok,”
Budi yang begitu antusias menerima surat itu langsung menghampiri Ibunya.
“emak, coba kau lihat apa yang aku pegang ini,”
“Surat. Lantas?”
“Iya ini surat dari Bapak di malaisya,”
‘Benarkah? Coba kau bacakan surat itu untuk emak,”
“Okelah mak, sebentar.
“Assalamualaikum, Apa kabar kau anakku? Bapak harap kau, Adik dan emakmu akan baik-baik saja. Bapak rindu pada kalian semua. Jaga kesehatan yaa. Bapak akan mengirimkan uang untuk kalian bulan depan. Ayah di sini baik-baik saja jadi jangan cemaskan Bapak. Belajar yang rajin, salatnya juga, jaga Adik dan emakmu baik-baik yaa. Salam rindu Bapak.”
“Allhamdulilah, Bapakmu baik-baik saja di sana nak,” kata Ibu sambil mengulas senyum.
“Iya mak, tapi kapan Bapak pulang?
“Entahlah nak, emak juga tak tahu. Kau baca sendirikan di surat tadi. Bapakmu tak memberitahu kapan dia akan pulang?”
“Iyaaa mak, Budi tahu,” Ujar Budi yang tertunduk lemas serta wajah yang memuram sedih.
“Sudahlah, kau temani saja Adikmu main di luar. Kasihan dia hanya main seorang diri,”
“Iya mak,”
Budi dan emaknya adalah sepasang Ibu dan anak yang harus berpisah dengan pemimpin keluarga mereka yang mengadu nasib di Negeri Jiran Malaysia. Berharap agar kehidupan mereka bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Adalah Budi, anak yang tak pernah menuntut apapun dari orangtuanya. Berkumpul dan bisa bercengkerama dengan sang Ayah, ia rasa sudah cukup. Walaupun di hati Budi selalu meronta ingin bertemu dengan sang Ayah. Dia hanya bisa pasrah dan berdoa pada sang illahi, agar sang Ayah selalu sehat dan cepat kembali ke pelukannya. Sudah banyak surat yang ia tulis untuk sang Ayah, namun sayang niat yang ia ingin lakukan sejak dulu untuk mengirim surat tersebut kepada sang Ayah tak pernah terlaksana, sehingga surat-surat itu menumpuk di atas meja belajarnya.
“Budi, untuk apa kau tulis surat sebanyak itu?” Tanya Ibu kepada Budi.
“Untuk Bapaklah, mak,” Ujarnya singkat sambil menulis.
“Bapak kau saja baru mengirimkan suratnya sekali, dan kau mau mengirimkannya puluhan surat itu untuknya. Ckckck susuh Nak. Lagi pula biaya posnya mahal.”
“Budi akan bekerja mak, dan mengumpulkan uang untuk mengirimkan surat itu kepada Bapak,”
“Mau kerja apa kau? Umurmu saja baru 10 tahun. Masih terlalu kecil untuk bekerja,”
Budi tertunduk lemas.
“Sudahlah, dari pada kau pikirkan itu. Mending kau ambilkan emak air di sumur, pinggang emak sakit kalau harus menimba air,”
“Iyaaa mak,”
Lagi-lagi semangat Budi untuk mencari uang harus dipatahkan oleh Ibunya sendiri, alasannya masih terlalu kecil. Sangat susah jika tinggal di desa yang kurang terjamah oleh dunia luar. Perjalanan ke luar desa untuk menuju ke kota kurang lebih 3 jam, itu pun harus menggunakan kendaraan bermotor. Menaiki bukit dan sedikit jalanan berlumpur. Budi adalah anak yang sangat pandai di sekolahnya, tak kurang dari beberapa piala ia dapatkan setiap tahunnya. Piala tersebut untuk Bapak katanya, sebagai pembuktian kalau dia adalah anak yang rajin dan pandai. Dan hadiah dari sekolah, karena sudah memenangkan lomba cerdas cermat sekelurahan, ia pun mendapatkan sebuah sepeda. Tak terlalu cepat memang, jika dibandingkan dengan motor namun benda tersebut ia rasa cukup untuk mengantarkannya ke kota.
“Terima kasih ya Allah, akhirnya doaku terkabulkan, mendapatkan sebuah sepeda,” Ujarnya dalam hati. Sambil menaiki sepeda barunya.
Tak terasa, genap sebulan sudahpasca surat dari ayahnya lalu yang katanya akan mengirimkan uang untuknya dan sang Ibu. Tanpa membuang waktu, Budi yang pada saat itu sedang menaiki sepeda menuju rumah langsung berbelok dan menuju kota. Perjalanan itu, memakan waktu kurang lebih 5 jam sangat lelah memang, namun ia yakin jika mendapatkan surat dari sang Ayah pasti rasa lelahnya akan hilang seketika.
“emak, Budi pulang assalamualaikum,” sambil mengetuk pintu dapur rumahnya.
“Dari mana saja kau anak nakal. Kau tak lihat ini sudah jam 10 malam. Sepeda siapa yang kau curi itu ha?”
“Emak jangan marah dulu, Budi habis dari kota mengambil uang dan surat dari Bapak dan ini sepeda adalah hadiah dari guru Budi.,”
“Astagfirulahalazzim, Nak. Kenapa kau begitu nekat. Perjalanan ke kota sangatlah jauh,”
“Tak apalah mak, ini semua demi Bapak,”
“Iya nak, cepat kau bacakan surat itu untuk emak,”
“Iya mak,”
“Assalamualaikum, salam sayang dari Bapak untuk istri dan anak-anakku, Bapak ada pekerjaan baru di malaysia. Bapak sekarang bekerja di pertambangan emas, jadi gajinya jauh lebih banyak ketimbang Bapak harus menjadi buruh pabrik. Itu ada uang sebanyak 5 juta, kerja Ayah selama satu tahun menjadi buruh pabrik di sini, tolong gunakan uang itu sebaik-baiknya, jaga kesehatan kalian dan jaga diri baik-baik yaaa, salam dari Bapak di perantauan,”
Sepucuk surat itu membuktikan jika, Ayah Budi baik-baik saja. Mungkin sedikit doa Budi telah dikabulkan oleh sang pecipta, berdoa agar Ayahnya selalu diberi kesehatan, namun satu doa Budi yang belum sama sekali terjamah adalah kedatangan Ayah Budi ke Indonesia, dan kembali berkumpul bersama mereka. Mungkin surat itu adalah surat terakhir dari sang Ayah tercinta. Hingga pada suatu ketika, Ayah Budi mengalami kecelakaan kerja. Dan mau tak mau harus kehilangan nyawa, akibat tertimbun oleh bebatuan. Berita buruk itu tak pernah Ibu Budi beri tahu kepada Budi, karena ia tahu semangat Budi untuk mengisi hari-harinya ada di sang Ayah. Sampai saat ini jasad Ayah Budi belum ditemukan, itu pun jika ditemukan kondisi jasadnya sudah tidak utuh lagi. Dan terpaksa harus dikubur di malaysia.
Hari demi hari, minggu demi minggu hingga bulan-bulan telah berlalu, Budi selalu menunggu kedatangan surat dari sang Ayah, taksedikit waktunya pun ia luangkan untuk pergi ke kota menaiki sepeda. Namun sayang, seperti yang kita tahu, Ayah Budi telah tiada. Sehingga tak ada seorang pun yang mengirimkan surat untuknya. Dua kali dalam seminggu, bolak-balik desa menuju ke kota. Berharap agar surat yang ia tunggu akan segera datang, namun hasilnya nihil. Kini surat yang ia tunggu-tunggu itu pun tak pernah datang hingga setahun berlalu.
“Budi kau mau ke mana?” Tanya emak kepada Budi.
“mau ke kota mak, biasalah mau mengecek apakah surat dari Bapak sudah ada atau tidak,”
“Apa kau tak tahu, di luar sedang hujan deras,”
“Iya Budi tahu, Budi sudah terbiasa terkena hujan. Dan hujan itu sama sekali tak pernah membuat Budi sakit. Karena hujan tahu, jika ia membuat Budi sakit. Budi tak akan bisa mengambil surat dari Bapak,”
“Sudahlah nak, surat yang kau tunggu-tunggu itu tak akan pernah datang,”
“Hahaha, kenapa mak? Tidak seperti biasanya emak seperti ini padaku,” Tanya Budi heran.
Sudah setahun setelah meninggalnya Ayah Budi, sang Ibu pun belum pernah mengabari kabar sebenarnya tentang sang Ayah kepada Budi. Sehingga Budi harus bolak-balik ke kota untuk mengecek surat. Mungkin inilah saat yang tepat untuk menceritakan semua yang terjadi kepada anaknya.
Budi, yang melihat Ibunya hanya terdiam di samping pintu langsung berjalan dan memegang sepeda di sampingnya.
“Heyy, heyyy, heyyy sudah emak katakan jangan pergi,” ujar emak, berusaha melarang Budi untuk pergi.
“Emak, kau kenapa jadi aneh begini?” Jawab Budi, sambil melepaskan sepedanya ke tanah.
“Iya, Bapak kau sudah tak ada. Bapak kau meninggal nak. Ia meninggal setahun silam akibat kecelakaan kerja di tambang emas,” kata emak, dengan nada intonasi yang tinggi.
Budi terpaku sambil membelakangi Ibunya.
“Maafkan emak sejak dulu tak memberitahumu nak, emak cuma takut kau akan kehilngan semangat,”
Budi tersungkur ke tanah dan menangis sekencang yang ia bisa. Anak berusia 11 tahun itu sangat tepukul, mengetahui berita duka yang ia terima. Ia tak habis pikir, mengapa sang Ibu begitu tega. Baru memberitahu kabar tersebut setelah setahun berlalu. Kini tak ada lagi sang penyemangat hidup Budi. Sosok kepala keluarga yang menjadi panutannya.
“Budi mengirimkan surat ini untuk Bapak, Budi rindu Bapak. Kapan Bapak pulang? Kini rindu Budi sudah tidak bisa tertahankan lagi. Bapak, Budi menang dari perlombaan sains dan matematika. Sebagai hadiahnya Budi diberi hadiah sepeda dari Ibu guru, Budi sudah menuruti apa kata Bapak untuk menjadi anak yang baik, pandai, dan menuruti apa kata orangtua. Sekali lagi Budi rindu Bapak, cepat pulang yaa. Sekian dari surat anakmu, Budi Antono.”
Selesai